Namaku Atik. Pekerjaanku adalah sebagai tukang ketik -dan tukang nge-print. Mungkin kalian menganggap pekerjaanku adalah pekerjaan yang tidak cukup berarti. Aku bertahan hidup dari menjadi tukang ketik. Aku bahkan rela bekerja 24 jam penuh sebagai tukang ketik sekaligus tukang print. Aku bukan tukang ketik atau tukang print sembarangan, sebab aku selalu mempelajari apa pun yang aku ketik dan print. Bisa gila? Iya, tapi tidak apa-apa, bukankah hanya dengan begitu aku menjadi tukang ketik yang beda dari tukang ketik kebanyakan?
Atik si tukang ketik.
Begitu tulisan yang tertera pada kertas
post-it di ujung sisi kiri monitor laptop
yang kugunakan untuk mengetik. Menjadi tukang ketik sejujurnya memang tidak
membuatku cukup bangga, tapi setidaknya tidak ada binatang yang jago mengetik.
Artinya, aku punya nilai lebih yang membedakan diriku dari binatang, tentu saja
selain kelebihan fisik, akal, pikiran dan hati nurani.
Hey, teman, jangan mengganggap hidupmu
cukup sulit. Karena aku juga jarang menganggap hidup ini sulit. Berat sih sering.
Nanti aku akan ceritakan kenapa hidup sebagai tukang ketik ini tidak selalu
terasa sulit tapi sering terasa berat.
***
Guruku adalah setiap lembar kertas yang
harus aku ketik ulang dan setiap lembar kertas
yang harus aku print. Terima kasih kepada pencipta laptop dan printer.
Dan terima kasih terbesarku kepada Yang Maha Kuasa karena sudah memberiku
jari-jari lentik untuk mengetik –setelah ngomong gini aku langsung lihat
jari-jariku dan mbatin “ngga tau
diri”.
Oke, kita kembali ke alasan awal
mengapa jariku menari di atas tuts tanpa ada satu pun kertas berisi kata-kata
yang harus ku ketik ulang. Kata-kata itu tidak ada dikertas, tapi sudah berisi
penuh disini, di dada dan pikiranku. Sekali lagi, aku atik si tukang ketik.
Bukan orang special, bukan orang istimewa, bukan juga orang berkebutuhan
khusus. Hanya Atik si tukang ketik. Tukang ketik yang sebenarnya, bukan
penulis. Karena dewasa ini banyak sekali penulis professional yang menganggap
dirinya sebagai tukang ketik. Sebagai tukang ketik aku merasa tersinggung
dengan majas litotes yang mereka gunakan.
Kepenuhan pikiran dan batinku ini
bermula di tiga bulan yang lalu saat pertama kali aku membaca sebuah kalimat di
kertas yang harus aku ketik –dan pelajari sendiri-. Isi kertas tersebut begini
:
“Ketika raja siang sudah merangkak dari
ufuk timur. Hilanglah satu hari umur. tumbuhlah satu pucuk syukur sebab hari
masih memberi waktu untuk terpekur pada batas nyawa yang tersisa. Manusia, apa
ukuran hidupmu yang membuatmu menjadi manusia?”
Hanya itu isi kertasnya. Oh, kalau saja
kau tau kertas-kertas yang biasa ku ketik isinya hanya 20% kata-kata, 80%
sisanya adalah angka. Sudah kubilang, aku tukang ketik khusus, tukang ketik
istimewa yang belajar dari angka. Sekarang angkaku 23 dan entah diangka berapa
aku akan berakhir.
Ketika aku menemukan secarik kertas
tersebut aku melihat ke seluruh penjuru ruangan. Di dalam ruangan hanya ada
benda-benda mati, yang hidup hanya beberapa komputer. Sejak hari itu aku
mencari. Siapa siempunya kertas yang meletakkannya ke meja saya. Seminggu,
Sebulan, tidak juga saya berhasil menebak siapa pengirimnya.
Hingga suatu siang yang terik dimana
orang berlalu lalang di depan percetakan tempat saya bekerja saya melihat ada
seorang bapak tua. Rambut beliau sudah memutih, begitu pun jenggotnya, matanya
sayu memandang ke bawah karena tulang punggungnya sudah tidak lagi dapat
berdiri tegak. Ia memegang tongkat kayu dan membawa buntelan kain yang dia
ikatkan di tongkatnya. Pakaian bapak ini berwarna putih terusan seperti pakaian
laki-laki yang sedang berhaji.
Awalnya aku merasa takut ketika sekilas
memandang ke depan, namun setelah kuperhatikan dengan seksama, aku melihat rona
itu. Rona keteduhan diwajahnya menenangkan ketakutanku. Kuputuskan untuk
menyambutnya dan menanyakan apa kepentingannya datang ke percertakan ini. Aku terperangah ketika ia mengatakan “sudah
menemukan orang yang kau cari?”
“maksud bapak?”. Balasku
“Bukankah kau sedang mencari anakku?”. Balasnya
lagi
Aku semakin bingung. Mungkinkah bapak
ini kakek pikun yang kabur dari rumah. Apa maksud perkataannya. Kucoba untuk
tenang dan menanyakan apa maksud kedatangannya kesini. Beliau malah membalas
dengan kalimat yang malah membuatku semakin merinding.
“Anakku sering mengamatimu. Beliau bilang,
ada yang kau pikirkan, selalu banyak yang kau pikirkan. Sepertinya kau tidak
menikmati hidupmu, katanya. Dia berinisiatif untuk memberimu semangat. Tapi dia
tidak tau apa yang harus dilakukannya..” kalimat lelaki tua ini terpatah-patah,
ia menarik napas panjang tanda bahwa ia kelelahan berbicara.
“lalu?” tandasku
“Ia mengirimu secarik surat. Ia hanya
ingin agar kau bersyukur atas hidupmu. Lakukan sesuatu yang membuatmu merasa
hidup, tik. Anakku mencintaimu, hanya ia satu-satunya yang kumiliki di dunia
ini dan aku bahagia sekali ketika aku mendengar cerita tentangmu. Aku selalu
menyuruhnya untuk berani mendatangimu atau mencari tau tentangmu dan keluargamu.
Ia tidak berani menyapamu. Ia ingin mendatangimu, tapi kau terlalu dingin
katanya. Keluargamu, bahkan tempat
tinggalmu pun ia tidak tau. Ia hanya tau setiap hari kau disini, bersama
komputermu.”
“lalu, dimana anak bapak sekarang?” Aku
penasaran.
“Disurga, mendahului kita semua.” Raut wajahnya
berubah mendung.
“maksud bapak?” aku mengatupkan
jemariku. Bapak itu masih menduduk dan terduduk bungkuk kursi sebelahku. Entah apa
yang salah, aku merasakan sesuatu berdebar hebat disini, di dadaku. Ku amati
dengan seksama wajah bapak tua ini. Sesekali ia melayangkan pandangannya ke
arahku, saat seperti itu aku akan merunduk atau pura-pura memandang sudut lain.
“Malam sebelum ia datang ke tempatmu
untuk memberikan secarik kertas itu, ia bercerita kepadaku. Katanya, ia ingin
mengingatkanmu akan nikmat hidup yang selama ini kau jalani….”
“Tunggu pak, darimana dia tau tentang
apa yang saya keluhkan?”
“Ia sering membaca tulisan di blogmu
katanya, ah aku bahkan tidak tau blog itu apa. Intinya, ia ingin kau terus
semangat menjalani hidup dan menggali semua potensimu. Memanfaatkan setiap
kesempatan. Diluar sana, banyak orang yang terpengaruh oleh tulisanmu, termasuk
anakku. Alangkah bergunanya jika setiap tulisanmu berisi motivasi dan cara
mensykuri hidup bukannya keluhan. Sebab apa yang kau tuliskan adalah buah dari
pikiranmu.”
“aku…” ingin kuklarifikasi.
“Dia mencintaimu, ia ingin yang terbaik
untukmu dan kau lakukan yang terbaik untuk orang lain lewat tulisanmu. Aku sudah
tua, aku berjalan kaki sendiri kesini karena inilah wasiat dari anakku. Maksudku,
anak angkatku yang sudah ku anggap seperti anakku sendiri. Atik, aku harus
pulang. Kau tidak perlu menjelaskan apa pun atau mencari siapa pun lagi. Bukalah
dirimu untuk orang lain, jangan hidup di duniamu sendiri. Percayalah, banyak
orang yang mencintaimu.” Laki-laki tua itu beranjak dari kursinya, ia jalan
perlahan dengan bantuan tongkat kayu itu. Aku hanya mampu menatapnya dari
belakang dan terdiam.
Air mataku menetes. Ia seperti malaikat
yang membacakan daftar dosaku. Selama ini aku memang selalu mengeluh. Terus mengeluh.
merasa hidupku paling berat dan aku jadi iri dengan kehidupan orang-orang
disekitarku. Nyatanya, ada banyak yang bisa kusyukuri, lihatlah, bossku tidak pernah
mengusikku atau menuntutku melakukan sesuatu yang aku tidak mampu, orang-orang
disekitarku selalu tersenyum ramah padaku, makanku tiga kali sehari.
Satu-satunya yang membuatku sedih dan berbeda, aku hidup sendiri, tak punya
keluarga, tak tau asalku dari mana. Tapi siapa yang peduli. Hari ini aku akan
membagi hasil ketikkanku kepada dunia. Aku atik si tukang ketik, memantik
mimpi lewat jemari.
***
Aku berdiri disini, memegang buku-buku
karyaku. Tepat tiga tahun setelah kejadian secarik kertas misterius dan bapak
tua yang datang waktu itu. Ya, kejadian itu membuatku bertekad menuliskan buku.
Dan saat ini disampingku berdiri laki-laki pujaan, memegang erat tanganku setelah
sebulan yang lalu menyematkan cincin dijari manisku dan mengucapkan janji setia
sehidup semati.
Masyaallah keren. Kak Atik lanjutkan tugas jarimu yang lentik untuk mengetik kisah hidup yang pelik.. #eh
ReplyDeleteHehe
Terima kasih zeela, terima kasih juga sudah mampir.
Deleteyuk sini minum kopi bareng aku ;)