Entah
sebab apa, sejak kecil aku punya ketertarikan tersendiri terhadap budaya batak.
Mulai dari cara orang-orang batak bicara, filosofi-filosofi mereka, cara
berpikir mereka, lagu-lagu berbahasa batak, dan yang pasti tidak ketinggalan
adalah makanan mereka (tapi yang halal ya). Dari semua makanan batak yang
pernah aku makan, aku paling suka 0mbus-ombus.
Aku masih ingat kapan pertama
kali aku makan ombus-ombus. Waktu itu aku masih kelas 4 SD. Aku sekolah di
salah satu SD Negeri yang berada di daerah kecil di Riau. Hampir 90% murid SD
ku memiliki orangtua yang bekerja sebagai karyawan BUMN di PTP Nusantara V
Kebun Sei Tapung, tak terkecuali orangtua ku. Dan hampir 98% karyawan disini
adalah perantau. Jadi, berkumpullah berbagai suku, mulai dari batak, minang,
jawa, melayu, madura, sunda, orang nias, bahkan sampai orang aceh ada disini. Tapi yang mendominasi adalah jawa dan batak.
Orang jawa terkenal dengan
ketekunannya. Kalau ada karyawan yang berprestasi, biasanya itu adalah orang
jawa, mereka bekerja dengan penuh kesabaran, jadi mereka juga menghasilkan
lebih banyak. Tidak jauh berbeda dengan orang batak, orang batak di tempat ku
tinggal dulu terkenal dengan sifat mereka yang blak-blakan, cenderung keras dan
pekerja keras, terutama yang ibu-ibunya. Mereka tidak pilih-pilih pekerjaan
(apa yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang, pasti akan mereka kerjakan).
Sayangnya aku tidak lama tinggal di
lingkungan yang di dominasi oleh orang batak karena aku harus pindah sekolah
dan tinggal bersama nenekku. Tapi batak masih membekas dihatiku,
terutama ombus-ombusnya. Makanan langka yang hanya bisa aku dapat kalau aku
punya tetangga orang batak.
Jadi, pertama aku makan ombus-ombus
waktu kelas 4 SD dan aku makan di teras depan kelasku. Aku mendapatkannya dari
seorang temanku yang membawa bekal ombus-ombus dari rumahnya. Dia bawa dalam kotak bekal, makanan itu dibalut oleh daun pisang, terlihat seperti sudah
dikukus. Karena penasaran aku bertanya-tanya makanan apa itu, seperti mirip
lemet (makanan khas jawa yang biasanya lembek, aku kurang suka). Lalu dia
membuka balutan daun pisang yang menyelimuti kudapan unik itu, menyembullah segunung genggaman –mirip tepung-
yang kemudian dia belah lembut dan ada seperti gula merah isinya. Aku hanya
mengamati dia dengan wajah penasaran. Kemudian dia memasukkan makanan itu ke
mulutnya. Dia membuka dan menutup matanya seperti menahan diri untuk tidak
terbang saking nikmatnya makanan yang sekarang sedang memenuhi gua mulutnya.
Setelah habis sebungkus ombus-ombus dengan
ekspresi orang makan makanan dari surga (tentu sembari menikmati wajah bodohku yang
sampai menelan ludah mengamatinya) dia memberiku sebungkus ombus-ombus itu. Aku
melucuti daun pisang pembalut makanan putih itu lalu membenamkannya kemulutku. Huuftt...
luar biasa. Ini makanan enaknya dewa. Setelah detik menelanku yang terakhir,
rasanya aku ingin sebungkus lagi, sebungkus lagi, dan lagi. Tapi sayang, sejak
saat itu aku tidak pernah melihat satu pun kawanku membawa makanan yang dia
sebut ombus-ombus kemarin.
Aku sibuk bertanya tentang
ombus-ombus ke mama, tapi mama tidak tau cara membuatnya. Setiap bertemu dengan
kawanku itu, aku selalu bertanya apa kabar ombus-ombus dan kapan dia membawanya
lagi ke sekolah, sampai temanku itu pernah membentakku dengan kata-kata seperti
ini “ombus-ombus, ombus-ombus aja yang kau tanya lisa, lalap ombus-ombus”. Jadi
aku makin bingung, apa mungkin orang batak menggunakan ombus-ombus sebagai
lalapan? Entahlah.
Dua tahun sejak aku makan makanan
langka itu, baru aku menemukannya lagi sepulang dari sekolah. Dan hebatnya, aku
menemukan ombus-ombus di atas meja makan di rumahku. Aku sudah melihat ada
makanan berbalut daun pisang, tapi aku abaikan, aku pikir itu lemet. Lalu ibuku
bertanya “loh, kok pemburu ombus-ombus ngelengos aja liat ombus-ombus terkapar
di meja makan? Udah lupa sama makanan yang selalu ditan..”. “apa? Itu ombus-ombus?”
aku langsung memotong pembicaraan mama dan lari ke meja makan. Rasanya seperti
surga, kawan.
Itulah terakhir aku makan
ombus-ombus. kelas 6 SD. Sampai sudah hampir 3 Tahun aku kuliah di USU, aku
baru menemukan makanan surgaku lagi. Pagi ini, di salah satu penjual sarapan
pagi. Harganya sangat murah, RP.2000,- dapat 3 bungkus ombus-ombus. Aku tidak
bisa menyembunyikan kebahagianku pasca menemukan ombus-ombus kembali setelah
sekian lama. Sebenarnya waktu semester satu dulu, aku pernah melihat
ombus-ombus ketika ada acara seminar di kampusku. Tapi, aku nggak kebagian, pas
mau ngambil, ombus-ombusnya sudah habis. Malangnya.
Penasaran sama
resepnya, sejarahnya dan daerah asalnya, jadilah aku googling untuk meredam
rasa penasaran itu. Ternyata ombus-ombus asalnya dari daerah Siborong-borong,
kabupaten Tapanuli Utara. Trus, cara buatnya juga kayanya nggak susah-susah
banget (kenapa nggak dari dulu coba aku cari resepnya). Pokoknya, liburan
nanti, aku pulang ke Riau harus bawa resep ini dan bereksperimen sama mama
untuk nyiptain ombus-ombus ala Lisa. Hahaha..
Aahh.... Makanan ini, rasanya unik,
namanya juga unik. Harusnya makanan kaya gini jangan dibiarkan jadi langka,
apalagi sampai punah. Ayoo... kita pertahankan makanan-makanan khas Indonesia.
Bangsa yang maju adalah bangsa yang cinta akan keunikan dan budaya bangsanya,
termasuk makanan tradisionalnya. Jangan mau dong makanan khas negara kita yang
pada sehat dan enak-enak tergilas sama makanan barat atau junk food yang udah
jelas nggak sehat.
Mantap (y)
ReplyDeletenice artikel, keep write yeah
ReplyDeletemakasii ya rota :)
Delete