Aku terbaring di atas
waktu
Menghayati detik
Menghayati bunyi
berdetak jam di dinding
Tanganku, lebih pendek
dari anganku
Anganku, sudah melewati
tapal batas mimpi
Mustahil aku gapai
Aku tak punya permadani,
apalagi burraq
Aku hanya akan tetap di
sini, terbaring di atas waktu
Menanti, meski sesuatu
itu tak pasti
Menunggang kuda kesetiaan
Meski aku tak tahu
harus setia pada apa, pada siapa
Aku terus menanti
Mencemari hatiku dengan
keyakinan-keyakinan palsu
Gelap sering berbisik
di gendang telingaku
Memecah sepi,
menimbulkan lengkingan yang menyayat
Bukan hati, tapi
logikaku yang mati
Bagian terparah dari
menanti
Tapi begitulah menanti
Cahaya mulai enggan
menyusup ke retinaku
Aku tahu
Karena ia sudah cukup
lelah diabaikan oleh hatiku
Dan ia tak cukup mampu
untuk membuat logikaku tetap hidup
Ia malu pada dirinya
sendiri
Ia cahaya, tapi terseok
Ketika berhadapan dengan
lampu kecil keyakinan
Lampu yang dinyalakan
oleh penanti sepertiku
Hanya waktu yang masih
menerimaku
Entah sampai kapan
Mungkin sampai baterai
jam di dinding habis
Dan aku sendiri, masih
menanti
Hingga ombak laut
menyapuku dari penantian ini
Menghantarku pada
jawaban yang kutunggu
Atau menghantarku pada sesuatu yang pasti
Kematian
"puisi ini kupersembahkan untuk seseorang yang sedang kunanti dan untuk seluruh orang yang masih setia dalam penantiannya dan untuk orang yang mulai ragu dengan penantiannya dan untuk mereka yang baru belajar menanti dan untuk orang yang baru lahir dari persalinan penantian"
photo by : me
lokasi : pantai nelayan, kampung nipah
model : laila
i like it :)
ReplyDeleteterima kasih:)
Deletesering2 mampir yaa :)
hihii,
ReplyDeleteketauan ini modus, biar aku mampir ke blog kamu kan :p
iya, ntar aku ke sana ya :)
i like it...
ReplyDeletebikin terharu bacanya
masa sih :p
Deletemenarik sekali untuk di simak
ReplyDeletethank you:)
Delete