Termangu aku di keheningan subuh
Jauh pikir menembus lapisan atmosfer jiwa
Sinema kehidupan di seberang bumi, di sudut itu
tak pernah berhenti
Tentang ayah,
Tentang hidupku yang indah dulu
Dewasa ternyata mengikat, Ayah
Bahkan terlalu mengikat
Karena amanah, karena tanggung jawab
Juga karena hati tak boleh pentingkan diri sendiri
Hingga terkadang diri sendiri tak terprioritaskan lagi
Apakah ayah dulu begitu?
Tapi kenapa wajah ayah tak pernah begitu?
Ayah yang ku tahu selalu tenang, selalu riang
Atau mungkin salah mataku memandang?
Bisa jadi. . .
Maafkan anakmu ayah
Mungkin anakmu ini sumber kesusahan hidupmu dulu
Mungkin juga ini alasan Tuhan memanggilmu lebih cepat
Agar ayah lebih tenang
Tenang yang bukan sandiwara
Ayah
Andai aku bisa terus mencium punggung tanganmu
Hingga nanti, hingga aku wisuda
Hingga nanti, hingga aku menikah
Dan engkau menimang anakku, cucumu
Hidupku pasti sempurna
Tapi ayah, aku tahu itu mustahil sekarang
Aku hanya bisa termangu di sini
Di sudut subuhku
Dengan do'a semoga ayah lebih bahagia di sana
Anakmu akan segera menyusulmu ke surga ayah
Agar kita hidup bahagia selamanya
Bahagia yang sebenarnya
Tanpa tekanan perusahaan
Tanpa kecemburuan teman-teman
Juga tanpa kebohongan
Tunggu aku ayah
Anakmu ini akan segera menyusulmu
Anakmu ini masih menunggu waktunya menguap
Hingga nanti gas nyawaku sampai di sana
Di surga bersamamu, ayah. . .
Puisi ini buah air mata yang sudah tidak kuasa kubendung lagi. Puisi hasil rindu tak terucapkan. Untuk orang terhebat dalam hidupku. untuk dia, Ayahku.
0 komentar:
Post a Comment