IBUKU MASIH SURGAKU

Tepat tiga bulan aku berada di kota ini –lagi-. Kota yang sebelumnya sudah sangat ingin kutinggalkan. Takdir Allah memang tidak pernah bisa ditebak. Manusia berencana, tetap Allah yang menentukan ending ceritanya. 


Aku kembali ke sini untuk status yang baru, bukan lagi mahasiswa. Tiga bulan yang terasa sangat panjang. Cerita tiga bulanku dikota ini lebih banyak mengandung konflik batin. Ya, mungkin kisah ini akan dimulai dari alur sedihnya. 

***

Ibuku sangat menginginkan aku kembali ke rumah setelah aku menyelesaikan kuliahku. Beliau katakan, beliau sangat ingin menghabiskan waktu denganku sebelum aku nanti dibawa oleh suamiku. Beliau ibuku, surgaku . Aku menuruti permintaan beliau sejak aku menyelesaikan kontrak kerja diperkerjaanku sebelumnya. Ketika sedang proses penyelesaian skripsi aku memang sudah terikat kontrak kerja dengan salah satu proyek penelitian yang berakhir Desember 2016 lalu. 


Apa yang aku rasakan dirumah?


Kedamaian. Persis seperti definisi rumah yang sebenarnya. Aku merasa benar-benar pulang ke rumah. Menghabiskan waktu bersama ibuku, bapak yang sudah ku anggap seperti ayah kandungku, dan sesekali bersaama adikku yang kadang pulang kalau dia libur kuliah.Satu-satunya yang mengganggu hanya komentar orang tentang “kamu ngga kerja?”, “udah ada calon?”. Yap, dua pertanyaan itu saja yang mengganggu dari sekian banyak pertanyaan orang-orang yang kepo. Lalu, begini tanggapan ibuku“jangan terlalu di dengarkan, pernah ingat kisah Lukman Hakim yang sering mae ceritakan.”
 
Dan beliau menceritakan kembali kisah itu :

Suatu hari Lukman Hakim mengajak anaknya ke pasar dengan menuntun keledai. Di Jalan mereka  bertemu dengan seseorang, “bodoh sekali bapak dan anak itu, bawa keledai tapi tidak dinaiki malah dituntun”. Mendengar omongan ini, anaknya kemudian naik ke atas punggung keledai.

Dijalaan mereka bertemu dengan orang lain, orang itu lalu mengatakan “durhaka sekali anak itu, masa bapaknya disuruh jalan kaki.” Tidak tahan mendengar komentar ini, ayahnya naik ke punggung keledai. Jadilah mereka berdua naik keledai berjalan kea rah pasar. 

Seperti sebelumnya, ditengah jalan mereka bertemu dengan orang ke empat, orang ini lalu berkata “ Tega-teganya bapak dan anak itu, keledai kecil malah dinaiki berdua”. Anaknya langsung turun, kemudian berlari dan membawa kayu dan seutas tali. Keledai itu lalu di ikat dan dipikul oleh mereka berdua.

Akhirnya mereka sampai dipasar, ternyata ketika dijual keledainya tidak laku karena tidak ada yang mau membeli keledai yang lemah. Sang anak kemudian bertanya kepada Lukman Hakim. “Bapak adalah seorang ahli hikmah, yang sering dimintai solusi oleh masyarakat, Bagaimana ini terjadi dengan kita sekarang?”

Kemudian Lukman Berkata pada anaknya, “Wahai anakku, jangan engkau mengikuti pendapat orang lain yang tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan mereka belaka”. Kemudian dilanjutkannya dengan mengutip kata-kata Ali Bin Abu Tholib “Dan janganlah engkau mencari kebenaran dari makhluk, tetapi temukanlah kebenaran dari Rabb terlebih dahulu, kemudian engkau tentukan siapa-siapa yang berada di sana.”

Menanggapi cerita ibuku, aku tersenyum. Sudah keberapa puluh kali kisah ini beliau ceritakan padaku, tapi baru kali ini terasa benar-benar sampai ke ulu hati. Dan, aku mulai bisa mengabaikan omong-omongan orang yang hanya kepo belaka.


Dari kecil aku termasuk orang yang susah diam, ada aja yang dikerjain. Lasak kata ibuku. Berbanding terbalik dengan adikku. Walaupun lasak-ku temasuk lasak  yang bermanfaat, itu tetap membuat ibuku sering khawatir.



Aku full dirumah selama dua bulan sejak kontrak kerjaku selesai. Aku kembali ke kota ini untuk mengambil apa yang tertinggal dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan sambil mengucapkan salam perpisahan. Tapi takdir berkata lain, aku entah bagaimana ceritanya malah melanjutkan kerja disini. 


Suliiitt sekali berdamai dengan diriku yang akhirnya tidak mengabulkan keinginan ibuku. Aku terus membujuk beliau untuk meridhoi apa yang aku lakukan sekarang. Ya, beliau berusaha Ridho. Hari ini,Tepat tiga bulan setelah aku meninggalkan ibuku. 


Keridho’an ibuku mulai goyah melihat perkembanganku dengan pekerjaanku. Permintaan awal beliau kini mulai terdengar lagi meski dengan bahasa yang berbeda setiap malamnya. Ibuku masih Surgaku. Aku tau apa pun yang beliau pikirkan adalah untuk kebaikanku.


Setiap hari-setiap pagi aku berdebat dengan diriku sendiri. “Apa yang membuatku masih bertahan dengan pekerjaanku?” dan jawabannya hampir tidak kutemukan.  Aku selalu penasaran dengan kejutan Allah selanjutnya, “apa alasan Allah menempatkanku disini, diperkerjaanku yang sekarang?”.Materi? sepertinya tidak, karena pekerjaanku sebelumnya memberiku 3-4 kali lebih banyak dibandingkan yang sekarang –dan mereka masih memintaku bergabung disana (tapi materi bukan satu-satunya alasan untuk bekerja apalagi yang kau pertimbangkan adalah restu ibumu). Prestasi? Bukan prestasi seperti ini yang aku inginkan. Aktualisasi? apalagi ini sangat sulit memcari waktu untuk mengaktualisasikan diri, bahkan liburku sudah terenggut. 


Lalu apa? Keridho’an Allah?

Ketahuilah, Ridho Allah bergantung pada Ridho Orangtua.


Dan bagaimana?

Entahlah, aku hanya ingin pulang, menemui ibuku, Surgaku!



0 komentar:

Post a Comment

 

PAGEVIEWS

FRIENDS