Dear Bulan,
Aku hanya termangu di sebuah kotak berdinding tembok. Lamunanku pecah mendengar suara telepon genggam yang asalnya dari sudut meja di sisi kanan kotak berdinding tembok tersebut. Panggilan masuk, dari seseorang yang seketika menegakkan bulu romaku. Bukan, bukan karena takut. Aku grogi, itu panggilan yang diam-diam ku nanti.
"Hallo" jawabku, lalu menarik napas panjang seraya menetralkan debar jantung. Suara di seberang membalas dengan ucapan "Assalamualaikum...". Suara itu aku kenali, aku nanti dan suara yang sekuat tenaga ku coba untuk lupakan, singkirkan, abaikan tapi tidak bisa. Sebab suara itu terlalu memesona bagi seluruh sel tubuhku, terutama sarafku.
Pembicaraan berlanjut, sampai pada satu topik kami membicarakanmu, bulan. Dia menyuruhku melihatmu. Katanya, jika aku bisa melihatmu, berarti aku juga bisa melihatnya. Dia juga sedang melihatmu dan berharap tatapannya akan kau pantulkan padaku. Sebab memang sudah sifatmu memantulkan cahaya.
Dia punya cahaya itu. Dia menyebutnya cahaya cinta. Ketika cahaya cintanya kau terima, kau pantulkan padaku dan cahaya cintaku kau terima lalu kau pantulkan padanya, maka kami bisa saling mengerti seluruh isi hati tanpa perlu duduk bersisi. Dia di selatan, bulan. Aku di utara. Kami berseberangan.
***
Terima kasih, bulan. Cahaya cintanya sudah ku terima dari pantulanmu. Semoga dia juga menerima pantulan cahaya cintaku.
Cerita kami masih berlanjut hingga desember 2016. Menurutmu, apakah cahaya cinta kami memiliki kekuatan yang sama untuk saling menerangi?
Cerita kami masih berlanjut hingga desember 2016. Menurutmu, apakah cahaya cinta kami memiliki kekuatan yang sama untuk saling menerangi?
Pertanyaan itu terus kutanyakan dalam hatiku.
Kau bertanya "apakah aku diterangi oleh cahayanya?" Oh, tentu. Dia menerangiku dan menerangi mimpi-mimpiku. Bahkan sekarang, mimpi terbesarku adalah menjadi bagian dari mimpinya.
Malam ini sedang hujan. Aku tau kau tetap ada disana meski tak terlihat. Bulan, jika kau punya kesempatan menerima pantulan cahayaku, sampaikan padanya bahwa semua yang ku semogakan mengarah padanya.
Aku masih di utara. sedang utara dan selatan mungkin memang tidak akan pernah bertemu. Tapi, aku bisa bergerak ke tenggara, bulan. Dari selatan dia juga semakin dekat jika ingin menuju tenggara. Tidak, bukan aku ingin mendatanginya. Aku hanya ingin menyampaikan getaran jantungku yang tak biasa ini agar terdengar olehnya. Dia juga begitu bulan. Kau melihatnya bukan?
Aku dan dia. Dua manusia yang sedang berjuang menyatukan cahaya selatan dan utara. Apa yang kami semogakan sekarang sama. Kau jadi saksinya.
Terima kasih, Bulan.
Terima kasih, Bulan.
0 komentar:
Post a Comment