Aku
mulai tenang. Kuliah libur dua minggu. Hal yang membuatku tidak tenang adalah
seekor hewan cantik yang mencuri perhatianku sejak beberapa minggu terakhir. Anjing
cantik dengan aura berbeda dari anjing kebanyakan. Dia tampan. Anjing samoyed.
Anjing samoyed yang satu ini hobi sekali lalu lalang
dihadapanku. Menyapa pagiku dengan tatapan tanpa lolongan. Aku ingin
merengkuhnya, begitu pun ia terhadapku. Tapi, ada batas diantara kami. Lagi-lagi
kepercayaanku melarangku bersentuhan liur dengan makhluk lucu ini.
Suatu hari aku merasa kosong. Aku tak
kunjung melihat samoyed sejak dua minggu terakhir. Di suatu hari yang lain,
setelah lama mencari, aku merasa ia ada. Aku cari setiap sudut pandangku. Lalu,
ia mendatangiku dengan wajah yang kosong dan kesakitan. Entah dia datang dari
arah mana, tiba-tiba muncul begitu saja dihadapanku seolah dibawa oleh udara. Ia
mendekatiku seperti ingin mengatakan seuatu, seperti ingin memelukku erat dan
mengadukan bencana besar yang sudah ia lewati, bencana yang menyisakan
trauma psikis di batinnya.
Lama kami mematung memandangi satu
sama lain nyaris tanpa kedipan. Ia menangkap kesia-siaan. Ia tahu aku tidak
akan memeluknya lagi-lagi karena kepercayaan itu. Ia menyesali kenapa ia hina
dihadapanku. Hina yang ia yakin aku tak mengerti alasannya. Kesedihannya berlanjut, aku tak
sanggup membiarkannya menangis, meringis, dan tersedu sendiri. Aku tak cukup
kuat melihat rintihan itu setelah cintaku secara alamiah tumbuh untuknya.
Aku memeluknya. Memeluknya dalam
sembari mendengar semua kata yang mengisi raut kosongnya selama ini. Ia terheran
seperti herannya aku terhadap diriku sendiri. Ia bertanya “bagaimana mungkin
kau memelukku? Bukankah...” kalimatnya terpotong saat ia melihat suatu tanda di
punggung tanganku, tanda itu instan menjawab pertanyaannya. Tanda itu memberi
arti kepercayaanku sudah berubah total. Kepercayaan baru yang takkan pernah
melarangku berlaku apa pun dengannya.
Aku tergagu melihat tanda itu. Aku ingin
menyela atas perubahan kepercayaan ini. Tapi, ketika ia menatapku. Aku tersenyum
dengan penuh ketenangan dan terus membelai. Ada satu ruang yang tak terlihat
di -entah rongga apa- dalam tubuhku kini berperang, meminta penjelasan akan semua hal aneh ini. Bulu-bulu kudukku merinding membayangkan apa jadinya jika
kepercayaanku benar-benar berubah. Sekarang akulah yang paling ketakutan akan
faktor efek tanda itu. Aku tenang dipelukkannya, tapi batinku terhimpit dan
meronta.
Aku terbangun. Mengumpulkan keping-keping
kesadaran dan berusaha memisahkan alam mimpiku dengan alam nyataku. Sulit. Karena
mimpi itu terlalu membekas. Aku menatap lenganku. Dan tanda itu...
0 komentar:
Post a Comment