SEGALANYA DI WAKTU YANG TEPAT

"You just have to trust your heart, your process."
Setiap individu punya cara dan jalannya masing-masing. Sesuatu yang kita lihat mudah, belum tentu mudah bagi mata lain yang memandang. Sesuatu yang mereka lihat kecil, belum tentu kecil buat kita. Ada banyak hal yang terlihat berbeda bergantung sudut pandang yang memandang. Lantas, bijakkah kiranya jika kita menghakimi sesuatu sebagai hitam atau putih tanpa melihat ke sudut pandang atau latar belakang yang lain? Misal, prosesnya.

Akhir-akhir ini banyak sekali saya alami dan dengar penghakiman-penghakiman dilontarkan oleh teman-teman sebagai bentuk pembelaan atas diri mereka yang tidak bisa mencapai sesuatu seperti dicapai atau dilakukan oleh orang yang mereka hakimi. Misalnya, proses penelitian.

Kita akan katakan penelitian kitalah yang tersulit. Kitalah yang membutuhkan waktu paling lama, kitalah yang banyak mengalami halang rintang yang menghadang. Sedangkan mereka, jalannya mulus-mulus saja, besoknya sudah sarjana, sudah wisuda. Sedangkan kita msih harus memgalahkan dunia dan seisinya. Dan kita akan mencari pembenaran, pembelaan. Bahkan sadisnya, kita berani katakan "wajarlah mereka melesat cepat, coba penelitiannya seperti penelitianku. Pasti akan lebih lama dariku". Padahal belum tentu. Karena sesungguhnya, kita tidak tau seberapa pengorbanan yang dia lakukan untuk menyelesaikan penelitian yang kamu anggap mudah.

Kita semua sudah ditakdirnya dengan apa yang kita punya sekarang. Apa pun yang terjadi dalam hidup kita adalah kejadian terbaik yang memang harus kita alami. Setiap individu punya porsi yang berbeda-beda. Saling menghargai jadi kunci untuk tetap bahagia, menerima bahwa prosesku takkan mungkin sama dengam prosesmu. Seberat apa pun, percaya pada hatimu, pada prosesmu. Segala sesuatu akan terjadi di waktu yang tepat. Tidak akan terlambat atau terlalu cepat.

Sudah seminggu saya menghabiskan satu jam waktu pagi saya untuk duduk diantara matahari terbit dan bulan tenggelam. Sembari memejam saya tuntun sang jiwa ke alam terdalam tempat segala bimbang bermuara, meninggalkan raga, menembus batas sampai amblas.

Apa yang saya temukan?

Jawabnya adalah : kenyataan bahwa hidup ini sangat berharga.

Saya mencoba berbicara kepada diri saya yang ada di dalam sana. Diri saya yang sering berbisik lewat hati melalui nurani. Diri saya yang bisikannya sering terabaikan sebab materi, caci maki benci, dan segala energi negatif dari mulut-mulut seisi bumi yang melemahkan, yang kurang menyukuri anugerah semesta dimana sudah Tuhan beri tanpa henti.

Memejam selama sepuluh menit, mendengarkan setiap bunyi, merasakan setiap hembusan angin, menyerap energi surya yang baru mencuat ke tempat yang lebih tinggi mengajarkan saya bagaimana bersyukur. Bahwa hidup tak hanya di ukur dari target-target yang kita capai, bahwa kita sebenarnya justru di didik oleh semesta melalui proses selama memperjuangkan target-target yang sudah kita rancang sedemikian rupa, dan bahwa setiap detik yang berlalu akan nikmat terasa jika kita menyukurinya.

Seseorang pernah berkata "jika kita bersyukur, Tuhan akan menambah nikmat berkali-kali lipat dari apa yang kita syukuri itu". Terkesan klasik, sepertinya mudah, tapi jika tidak dibiasakan kita tidak akan bisa merasakannya.

Allah suka dengan amalan-amalan yang meskipun sedikit tapi kontiniu. Dan salah satu upaya saya untuk bisa bersyukur adalah dengan meditasi selama minimal 10 menit di pagi hari. Menyebutkan apa pun yang bisa saya syukuri. Mulai dari matahari pagi yang masih menerpa kulit saya, angin segar subuh yang masih membangkitkan bulu roma, air bersih yang masih tersedia, sarapan sehat yang saya kecap setiap harinya, orang-orang yang saya cintai dan mencintai saya tetap ada disana, dan semua proses yang sedang saya jalani selama ini.
                  
Terima kasih semesta. Terima kasih Allah, atas segala nikmat, dan atas segala pelajaran yang Engkau limpahkan dalam kehidupan.
Percaya hatimu. Cintai prosesmu. Selamat pagi, selamat bergerak :)

0 komentar:

Post a Comment

 

PAGEVIEWS

FRIENDS