RUANG SEGI EMPAT

Sepoi angin berhembus mesra dari sebuah mesin yang berputar di dalamku sedari pagi. Kicauan burung lamat-lamat terdengar dari bubungan atap tempat ia biasa bertengger dan menatap. Suara-suara klakson puluhan, ratusan, bahkan ribuan kendaraan samar sambar menyambar dari jalan raya diseberang sana. Biasa, riuh menghadapi siklus jam pulang kerja yang selalu menyiksa jalanan kota.
Hujan baru saja reda. Cuaca sedang tak menentu, tadi panas terik kemudian berubah mendung lalu miliaran rintik serta merta turun dari angkasa. Cuaca memang tak menentu, persis seperti hati pemilikku.
Aku ruang segi empat, dihuni oleh seorang wanita muda berusia kepala dua. Hari ini, aku menyaksikan ada kesamaan antara cuaca dengan suasana hatinya. Sama-sama tak menentu. Sejak pagi dia hanya mengurung diri di dalamku. Tak melakukan apa pun. Hanya diam membisu, sesekali dia tertidur diatas tempat tidur miliknya yang ia rawat rapi. Tempat tidur ini bagian dari diriku yang juga bagian dari dirinya.
Wanita ini, biasanya adalah wanita yang tak pernah menunjukkan raut wajah begitu. Ia selalu semangat menyambut hari, bersenandung sana-sini, bangun dengan wajah berseri dan selalu bergerak seperti ada yang dicari. Tawanya, aku suka sekali tawanya. Renyah.
Sayang pagi ini, dia seperti tak memiliki emosi. Apa yang terjadi dengannya? Kemana perginya semangat itu? Aku rindu senandungnya, tawanya dan tangis bahagia saat ia bercengkrama dengan seseorang yang ada diseberang telfonnya. Entahlah siapa orang yang berhasil membuat wanita di dalamku ini bisa menangis haru dan bahagia begitu. Aku tidak pernah melihat dia menangis seperti itu saat berhadapan dengan orang yang pernah datang ke dalamku.
Pernah beberapa kali kusaksikan ia tersedu dihadapan sajadahnya. Dia mengadu tentang banyak hal, tentang kebimbangan, tentang ketidakpastian, tentang harapan, tentang kesalahan, tentang dosa dan tentang cinta. Aku tidak begitu mengerti semua itu. Aku hanya menikmati setiap emosi yang keluar darinya, sebab sedikit banyak emosinya mempengaruhi emosiku serta emosi seluruh benda yang ada di dalamku.
Ia mencintaiku, ia suka sekali merawatku, menatap langit-langitku dan tersenyum. Yah, aku tau, kadang senyum itu bukan untukku, senyum itu ia tujukan untuk seseorang yang sering ia ucapkan dalam do'anya. Kadang aku suka melihat ia menangis. Bukan, bukan, bukannya jahat. Tangisan wanita ini, tulus sekali. Tangisan penuh cinta. Andai aku jadi bagian dari tangis cintanya, pasti aku akan memeluk erat wanita ini-andai bisa aku lakukan-.
Kembali lagi, aku tidak suka dia yang hari ini. Coba lihat, wajahnya tanpa ekspresi. Wajah macam apa itu. Buku-buku dia anggurin, laptop ia abaikan, makanan dicuekin, handphone yang biasanya tak pernah lepas dari genggam kini ia buang. Apa yang terjadi dengan penghuniku?

Andai aku bisa bicara, akan aku campakkan satu-satunya emosi yang tertangkapku dari wajahnya. Emosi tak menentu. Emosi yang tidak aku tau.

Aku ruang persegi empat. Aku tidak luas, tapi aku tau penghuniku memandangku lebih luas dari seluruh ruang yang ada di luar sana. Itulah kenapa, aku mencintai diriku. Berkat dia, aku merasakan begitu banyak emosi, tangis, tawa, haru, bahagia, kebingungan, kesepian, dirindukan dan sekarang aku merasakan emosi tak menentu. Jendelaku juga setuju dengan apa yang aku lihat. Jendelaku merindukan dia yang suka menatap langit dari balik tralinya. Apa kabar penghuniku? Apa yang terjadi dengan dirimu?

0 komentar:

Post a Comment

 

PAGEVIEWS

FRIENDS