Pagi ini aku menyusuri jalanan dibawah sebuah payung kuning. Sekelilingku terasa sejuk dan sendu. Hujan terkadang memang membuat segala sesuatu terasa melankolis. Dan seperti biasa, kulihat para pejuang keluarga tetap menunggu disana, disamping becak dayung, sumber pencariannya. Pejuang keluarga itu terlihat tua dan lelah, terlihat hampir menyerah dan pasrah. Hujan ini, tidak bisa dipungkiri, telah menghambat pemasukannya.
Jarakku semakin mendekat dengan mereka. Seketika aku tertegun . Seorang pejuang keluarga yang berlindung dibawah spanduk yang ia gunakan sebagai mantel tersenyum ramah kepadaku. Ia menawarkan jasanya. "Nak, mau naek becak".
Rasanya aku tidak sanggup berkata apa-apa, hanya serangkai kata ini yang kuucapkan dengan suara gemetar" maaf pak, saya sudah dekat". Lalu aku mengangguk seraya tersenyum melewati mereka.
Setelah berlalu dari mereka, aku tak tahan untuk membendung air mataku, ia menetes. Seperti hujan yang jatuh dipipiku. Dadaku terasa penuh. Aku ingin menarik kembali hipotesaku, para pejuang keluarga itu sama sekali tidak menyerah, mereka masih berjuang. Berjuang untuk 1000 sampai 3000 rupiah.
Aku kembali melihat diriku, diriku yang mengeluhkan hujan pagi ini. Diriku yang malas melangkahkan kaki untuk menjemput mimpiku. Padahal semua yang ada dalam hidupku, jauh lebih mudah dibandingkan para pejuang keluarga itu.
Tuhan, ampuni aku. Ampuni aku karena kurang mensyukuri hidup ini. Terima kasih sudah memberiku pelajaran berharga dari perjalanan pagi ini. Tuhan, tolong bantu para pejuang keluarga tadi. Tolong kuatkan mereka, kuatkan juga kami para pejuang mimpi.
Kepada hujan pagi ini, maafkan aku telah menjadikanmu sumber keluhanku. Maafkan aku karena nyaris melupakan keberkahanmu. Terima kasih hujan. Terima kasih telah mengemburkan hati yang mulai gersang ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment