Ini
pengalaman kedua saya menulis review. Sudah lama saya ingin me-review buku-buku
karya Tere Liye. Selain buku-bukunya memang menyenangkan, ringan dibaca, serta
penuh dengan pelajaran kehidupan, alasan saya lainnya karena salah satu
resolusi saya adalah membaca minimal 50 buku setahun diluar buku kuliah. Maka,
saya mulai mengoleksi buku-buku dari penulis best seller Indonesia. Salah satu kiblat
bacaan saya adalah karya om Tere Liye.
18
Desember 2015, saya memboyong buku berjudul “PULANG” ini dari raknya yang ada
di toko buku Gramedia. Berhubung banyak buku yang belum selesai saya baca, pulang saya bariskan begitu saja dengan
keluarga barunya di rak buku sebelah tempat tidur saya. Hingga suatu hari di
tahun 2016, kerinduan saya akan kampung halaman –Riau, dengan ibu saya, adik
jagoan saya, bapak, nenek dan semua saudara-saudara saya yang tidak terbendunglah
yang menggerakkan hati saya membuka buku bersampul hijau ini dan melahapnya
sampai habis. Jujur, saya kenyang. Rasa kenyang yang padat, semakin membuat
saya sesak karena rindu kepada ibu saya justru menjadi-jadi setelah membaca
ini. Beberapa kali air mata saya menetes. Terutama dibagian saat bujang
menerima surat dari bapaknya, ditulis di atas kertas tua lusuh. Saya merinding,
saya pernah merasakan bagaimana kepergian -untuk selamanya- orang yang sangat kita
cintai hanya disampaikan dalam secarik kertas. Saya bisa merasakan seluruh rasa
takut yang akhirnya mencuat kepermukaan tanpa bisa dibendung setelah kita
kehilangan alasan untuk bertahan hidup.
Digambarkan dalam novel ini, tokoh
utama bernama bujang adalah seorang anak kampung. Bapaknya pernah mengalami
sakit hati yang luar biasa sebab adanya diskriminasi dari orang-orang dikampungnya
dulu. Diskriminasi yang menyebabkan cinta Bapak Bujang harus mengalami
perjalanan panjang sampai kakinya cacat setelah menjadi tukang pukul Keluarga
Tong.
Pemimpin Keluarga Tong yang
dipanggil Tauke Muda berhutang budi kepada Samad (nama bapak Bujang). Samad
juga pernah berjanji kalau ia memiliki anak laki-laki, ia akan menyerahkan anak
laki-lakinya untuk dibesarkan di Keluarga Tong. Maka, setelah merasa waktunya
sudah tepat, ia mengizinkan bujang pergi dari kampung untuk masuk dalam kehidupan
Keluarga Tong.
“Semua orang punya masa lalu, dan itu bukan urusan siapa pun. Urus saja masa lalu masing-masing.”
Nasehat
itulah yang membuat orang-orang dari berbagai latar belakang bisa bersatu
menjadi menjadi satu keluarga yang dinamakan Keluarga Tong. Ada juga beberapa
orang yang tidak masuk dalam daftar Keluarga Tong, seperti Frans si Amerika.
Frans sosok guru yang sangat menyenangkan bagi Bujang. Beliau mengajarkan banyak
hal mengenai pengetahuan akademis serta kemampuan menguasai berbagai bahasa.
Berkat mengenal Frans di novel ini, saya jadi bermimpi suatu hari nanti bisa
ikut menginjakkan kaki saya di Hongkong.
Ada
juga Kopong. Guru pertama yang mendidik bujang tentang ilmu membela diri atau
berkelahi. Kopong sangat menyayangi bujang karena merasa berhutang budi kepada
Samad. Kopong juga yang mencarikan bujang guru-guru yang lebih hebat daripada
dirinya. Guru-guru bujang lainnya adalah Guru Bushi (seorang ninja tua yang
sangat mematikan di jamannya, hingga jamannya bujang. Beliau menguasai ilmu
samurai dan memiliki dua orang cucu kembar perempuan yang sudah yatim piatu bernama
Yuki dan Kiko). Dihari-hari terakhir Bujang berada di Jepang setelah beberapa
bulan latihan akhirnya ia mengetahui jurus paling masyur milik seorang ninja
sekaligus samurai sejati. Menghilang. Ya, seperti kemampuan yang dimiliki oleh
Raib (Klan Bulan) dalam novel Bumi ya :p
“Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama seklai tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja.” –Guru Bushi
Guru
selanjutnya yang sangat ahli dalam menembak dan juga (menurut saya) ahli
membuat Bujang “panas” -untuk latihan menembak lebih keras- bernama Salonga. Ia
yang mengajarkan bujang kemampuan menembak yang luar biasa. Meski untuk bisa
mengalahkan Salonga, Bujang harus membayar dengan harga dirinya serta omelan bahkan
cacian dari Salonga ketika latihan. Saya suka sekali dibagian awal Salonga
mengajari Bujang menembak. Saya seperti bisa merasakan perasaan jahil seorang
guru kepada murid yang sebenarnya sedang dia kagumi kemampuannya, dan Bujang
yang sangat kesal serta berjuang mati-matian mempertahankan harga dirinya dari
cacian yang dilontarkan gurunya setiap kali ia gagal.
Proses
yang dilalui Bujang bermula dari suatu malam berburu babi hutan hingga akhirnya
dia bisa ke Jepang, Hongkong, Amerika, serta belahan dunia lainnya, bahkan sampai
menguasai Shadow Economy. Menjadi pemimpin
Shadow Economy, justru membawanya ke satu
titik. Pulang. Dalam arti yang seluas-luasnya.
Novel
ini seperti sedang memberi gambaran bahwa mungkin di negeri tercinta kita ini,
kita juga sedang disuguhkan acara reality show dimana penguasa Shadow Ekonomi berperan sebagai sutradaranya. Silahkan
berpikir kritis setelah membaca buku ini. setelah itu, segeralah "pulang".
0 komentar:
Post a Comment