Surat ini kutulis jauh sebelum kita bertemu dan bersatu. Aku belum bisa membayang rona senyum mu, belum mampu melihat kharismamu juga wibawamu. Aku sering membayangkan berbagai emosi yang diutarakan raut wajahmu meski aku tak mampu menggambarkan seperti apa wajahmu kelak.
Suamiku, aku pasti sedang berbahagia berada di sampingmu ketika kau sunggingkan senyum itu. Aku tidak pernah bermimpi dirangkul olehmu yang berotot kekar atau berperut six pack, tidak. Aku berbahagia disampingmu jika kau memperlakukanku dengan selembut-lembutnya sikap.
Di luar sana hidup terasa berat dan keras, suamiku. Kau pasti juga merasakan itu. Sekarang, aku tak punya tempat mengadu tentang apa yang dilakukan hidup untuk menempahku. Tapi nanti, ketika aku disampingmu, aku ingin menumpahkan seluruh ceritaku padamu dan menunggumu menanggapi ceritaku dengan sebijak-bijaknya sikap. Itulah kenapa, aku akhirnya mengiyakan ketika kau mengkhitbahku. Aku terpesona oleh kesantunan dan kemurahatianmu.
Suamiku, ketika menjadi istrimu, kemarahanmu adalah hal yang paling aku takutkan. Sebab, pintu surgaku sedang tertutup ketika kau marah, apalagi jika kemarahan itu disebabkan olehku. Meski aku belum mampu membayangkan dirimu, detik ini aku sudah takut membayangkan amarahmu. Itulah kenapa aku mengiyakan lamaranmu. Sebab, aku ingin menikah dengan lelaki yang membuatku takut neraka dan mencintai surga.
Suamiku, kau akan menjadi ayah yang hebat untuk anak-anak kita nanti. Maka, perhebatlah dirimu terlebih dahulu. Karena buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ini juga pesan yang selalu ku sampaikan untuk diriku.
Di masa depan, saat aku menjadi istrimu, kau pasti akan melihat begitu banyak kelemahan dan kekuranganku. Jadi, maukah kau menikahiku karena ingin melengkapiku dengan kekuatan dan kelebihamu?
Bukankah dalam hidup kita sejatinya selalu berusaha mencari keseimbangan dan keutuhan? Maka, orang bijak mengatakan, pernikahan adalah salah satu jalan untuk meraih itu. Saling melengkapi dan mengutuhkan. Semoga aku juga bisa melengkapimu dan membuatmu merasa utuh. Aku yakin, kau menikahiku juga untuk tujuan itu. Melengkapi separuh jiwamu dan separuh agamamu.
Suamiku, surat ini kutulis tengah malam saat mata tak mampu terpejam. Dan, lagi-lagi aku membayang. Ketika aku menjadi istrimu, mengalami kesulitan tidur pun jadi sebuah kebahagiaan. Sebab, aku bisa memandangi wajah pulasmu sepuas-puasnya dan mendengar melodi dengkurmu sekhusyuk-khusyuknya.
Ya, kau benar. Aku istri yang suka mengkhayal. Tapi, ketahuilah suamiku, khayalanku bukan menjadi cinderela atau putri raja. Khayalanku adalah menjadi istrimu dan menikmati kebahagiaan dengan sederhana.
Suamiku, saat aku menjadi istrimu, bolehkah aku selalu ada di dekatmu? menemanimu dalam setiap keadaan, menyiapkan sarapanmu, menunggumu pulang kerja, memandangimu ketika kau makan, sholat tepat berada di belakangmu dan menyuguhkan keningku untuk kau cium setelah selesai salam. Bolehkah aku melakukan itu setiap hari selama hidupku sebagai istrimu? Agh, aku bahkan sedang menangis ketika menuliskan ini.
Itu khayalanku, cita-citaku, suamiku. Bukan sok naif, inilah diriku. Dengan mimpi meraih kebahagiaan dengan cara yang paling sederhana. Saat aku mengiyakan lamaranmu dan siap menjadi istrimu, itu artinya aku yakin bahwa kau adalah laki-laki yang jadi imam sholatku setiap hari nanti, laki-laki yang kutunggu kepulangannya dari kerja, laki-laki yang berhasil memberiku kebahagian dengan cara yang paling sederhana. Tentu saja, sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh laki-laki lain di luar sana.
***Bahagia dengan cara yang paling sederhana***
Suamiku, aku mengiyakan lamaranmu karena ibuku. Seberapa besar pun keinginanku untuk menikah dengan lelaki impianku (jikalau ada), namun ibuku berkata 'tidak'. Maka, aku tidak akan menikah dengan lelaki itu. Bukan karena aku tidak memikirkan diriku. Ini semua aku lakukan sebab surgaku sebelum engkau adalah beliau. Dan ketahuilah, misi hidup wanita itu adalah menjadi sebaik-baiknya ibu bagi anak-anaknya. Ibu yang baik pasti memikirkan kebahagiaan anaknya. Ketika beliau memilihmu, berarti beliau yakin kau bisa memberi kebahagiaan itu untuk anaknya. Jadi, ambillah hati ibuku, suamiku. Buat beliau yakin bahwa ketulusanmu adalah sumber kebahagiaan bagi anaknya.
Suamiku, aku masih disini. Menunggumu, memantaskan diri dan mengirimkan do'a-do'aku untukmu. Semoga dipermudah jalanmu untuk mendatangi orangtuaku dan diyakinkan hatimu bahwa kau memang mampu membimbingku, mendidikku, mengayomiku dan membahagiakanku. Aamiin...
Sekian suratku untukmu, suamiku.
Waktu sudah menunjukkan pukul 4, aku ingin bergegas memulai perbincangan dengan Rabb-ku yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat-mu.
Ketika aku menjadi istrimu, ketahuilah, kau adalah jawaban atas do'a yang aku dan ibuku rapalkan. Maka suamiku, bertanggungjawablah atas amanah yang Allah berikan padamu.
Tertanda,
Istrimu -ketika belum mengetahui siapa dirimu-.
0 komentar:
Post a Comment